Bahder Djohan: Patriotic Doctor from Minangkabau

Bahder Djohan

“Know that you are one of the small number of our nation who have the opportunity to study to become doctors. Make the best use of that opportunity. If you succeed in becoming a doctor, you will be able to help people who are still suffering…”

This is an excerpt from Bahder Djohan’s speech, Chairman of the STOVIA Association, in front of new students, as remembered by Mohammad Roem.

Bahder Djohan is a doctor and figure in the national movement who may be foreign to the ears of Indonesian people until now. Millennials know Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo which has become the name of a long-standing hospital in Central Jakarta. There are also other hospitals in Indonesia that have the great name of a fighting doctor, such as Dr. Sardjito Yogyakarta, Dr. Hospital. Sutomo Surabaya, and Dr. Hospital. Hasan Sadikin Bandung. There is no hospital bearing the name ‘Dr. Bahder Djohan’. If traced, the name Bahder Djohan was immortalized as the name of a road across in front of the University of Indonesia Hospital (RSUI) Depok, West Java. Understandably, Bahder Djohan is a former Chancellor of the University of Indonesia (1954-1958).

Rang Mudo at STOVIA

School Tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA), often known as the Javanese Doctor’s School, is a prestigious medical school located in Batavia, Weltevreden, precisely near the Groot Militair Hospitaal Weltevreden (RSPAD Gatot Subroto). This does not mean that it is only young people from Java who study at STOVIA, many young people from outside Java, especially young people from Minangkabau, are gaining medical knowledge here, like Bahder Djohan.

Bahder Djohan (Center) while serving as Chair of the STOVIA Student Association.

Bahder Djohan was born on July 30 1902 in Lubuk Begalung, Padang, West Sumatra. Born to Mohammad Rapal, Soetan Boerhanoeddin, and Lisah, a girl from Alang Laweh, Bahder Djohan studied medicine at STOVIA in 1919, a year before moving his studies to Salemba (Faculty of Medicine, University of Indonesia).

Taking shelter in the STOVIA dormitory, Bahder Djohan carries out strict routine activities like other students. Wake up at 06.00, shower and get dressed. Then go to class from 07.00 to 13.00. In the afternoon, students take a short break, either playing music, studying, or going to eat outside school. At 19.00 they return to studying under supervision in the study room. At 22.00, 23.00, or 24.00 midnight depending on age, they return to the dormitory and the lights are turned off. All STOVIA students’ activities are continuously monitored by a group of colonial army veterans. If they violate, students will not hesitate to be punished, or even expelled from STOVIA.

However, that doesn’t mean you shouldn’t enjoy holidays or unwind at all. Entering the weekend, students are allowed to leave the school building. Before leaving for the Netherlands, Bung Hatta visited Bahder Djohan at STOVIA. They spent the weekend together until late at night. (Safwan, 1985: 15)

“From the STOVIA building, Bahder Djohan and Mohammad Hatta walked to Pasar Baru. After eating and drinking, the two of them went to the movies. After watching the cinema, they walked around until 23.00 and before returning to the STOVIA dormitory, they stopped at a coffee shop in Senen. The coffee shop was also often visited by STOVIA students who at that time were famous for ‘klepek’. After taking Bahder Djohan home to STOVIA, Mohammad Hatta returned home by bicycle.”

Bergabung Dengan Jong Sumatranen Bond

Selama mengenyam bangku pendidikan di sekolah calon dokter, Bahder Djohan pada usia yang relatif muda tak melulu belajar dan sibuk bergelut dengan buku. Ia juga turut aktif dalam arus pergerakan nasional pada awal abad 20. Bahder Djohan bergabung dengan organisasi Jong Sumatranen Bond (JSB) semenjak bersekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO)—jenjang pendidikan setingkat sekolah menengah pertama. Bahkan Bahder Djohan ditampuk menjadi sekretaris JSB cabang Padang pada 1918. Dua tahun berselang, karier organisasi Bahder Djohan meningkat pesat. Beliau terpilih sebagai sekretaris utama Jong Sumatranen Bond. Puncaknya, Bahder Djohan dipilih menjadi Ketua pada 1926.

Bahder Djohan berpose bersama dengan para pelajar STOVIA asal Sumatera Barat.

Pada 4-6 Juli 1919, Bahder Djohan menghadiri Kongres Pertama JSB di Padang. Kongres yang dihadiri 3000 orang itu membahas mengenai cita-cita dan azas Jong Sumatranen Bond, tugas pemuda, pendidikan untuk kaum perempuan, dan bahasa Melayu.

Menghadiri Kongres Pemuda Pertama 

Kongres Pemuda Pertama yang digelar pada 30 April-2 Mei 1926 di Gedung Vrijmetselaarsloge (Gedung Kimia Farma) diikuti oleh pelbagai organisasi, seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Sekar Roekoen, Jong Bataks Bond, Pemuda Minahasa, dan Jong Islamieten Bond. Bahder Djohan hadir sebagai salah satu perwakilan Jong Sumatranen Bond yang didapuk sebagai panitia kongres.

Bahder Djohan berfoto bersama dengan para peserta Kongres Pemuda Pertama.
Foto: Koleksi Museum Sumpah Pemuda

Tampil juga sebagai pembicara, Bahder Djohan menyampaikan gagasan mengenai De Positie Van De Nrouw In De Indonesische Samneving “Kedudukan Wanita dalam Masyarakat Indonesia”. Bahder Djohan menjelaskan bahwa perempuan semestinya di samping laki-laki bagi negara dan bangsa. Kedudukan perempuan setara dengan laki-laki, tidak boleh lebih tinggi ataupun rendah. Secara garis besar, Bahder Djohan menekan pentingnya hak-hak kaum perempuan untuk dilindungi.

“Ruang gerak yang lebih lebar bagi perkembangan kegiatan kaum perempuan akan membuka perspektif baru untuk hari depan nusa dan bangsa kita”

Jalan Terjal Menjadi Dokter di Hindia Belanda

Indisch Arts (Dokter Hindia Belanda) adalah gelar yang berhasil direngkuh Bahder Djohan dengan susah payah pada 12 November 1927. Memulai karier dari bawah dengan menjadi asisten pengajar Cornelis Douwe de Langen—dokter spesialis penyakit dalam yang meraih titel guru besar Universitas Utrecht pada 1938, Bahder Djohan bekerja di Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting (CBZ)— yang sekarang dikenal sebagai Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo. Gaji pertama yang diterima Bahder Djohan adalah 250 gulden, separuh dari gaji dokter Belanda yang bekerja di Hinda Belanda, yakni senilai 500 gulden. Dalam hal ini, pemerintah kolonial menerapkan kebijakan diskriminatif kepada dokter bumiputra, meskipun gelar yang diraih dokter bumiputra sama halnya dengan dokter Belanda.

Perjamuan perpisahan Prof. Dr. C.D. de Langen dengan para dokter Hindia Belanda, terlihat Bahder Djohan berdiri.

Tatkala kebijakan pemerintah kolonial kerap tak adil itu, Bahder Djohan tetap bekerja secara profesional. Ia mulai bekerja pukul 07.00 pagi hingga selesai 20.30 malam. Bahder Djohan menangani dua bangsal penyakit dalam sekaligus: Bangsal H III untuk menampung pasien baru yang berjumlah kurang lebih sekitar 10-15 orang sehari; bangsal H IV merupakan tempat pasien yang telah selesai diperiksa di bangsal H III. Bahder Djohan juga turun tangan menangani poliklinik penyakit dalam. Ia memeriksa pasien yang menderita TBC dan lepra. Oleh karena itu, yang dilakukan Bahder Djohan pun menuai pujian dari Cornelis Douwe De Langen. Tak heran Bahder Djohan kian dipercaya dan sering diajak bekerja sama untuk menangani pasien-pasien guru besarnya tersebut.

Menentang Diskriminasi

Ketika menjabat sekretaris Perkumpulann Dokter Hindia Belanda (Vereeniging van Indonesische Geneeskundigen; VIG), Bahder Djohan menuntut persamaan perlakuan antara dokter bumiputra dan dokter bangsa Belanda atas dasar kompetensi yang tertuang dalam diploma dan pengalaman yang dimilikinya. Hal tersebut diperjuangkan tidak hanya dalam masalah gaji, tetapi juga dalam perlakuan lain.

Berkolaborasi dengan dr. Achmad Mochtar dan dr. Wahab, Bahder Djohan merilis sebuahartikel di GTNI, mengenai kasus leptospirosis di Batavia.

Sewaktu dirilisnya jurnal kedokteran “Geneeskundige Tijdschrijt van Nederlandsch Indië” (GTNI), dokter bumiputra diperbolehkan berlangganan, namun hanya untuk para anggota luar biasa. Peraturan ini dinilai diskriminatif oleh Bahder Djohan. Ia menuntut agar peraturan itu dicabut dengan catatan. Jika tuntutan itu tidak dikabulkan, maka para dokter bumiputra akan mengundurkan diri secara serentak dari keanggotaan dan keterikatannya dengan majalah tersebut. Akhirnya, pemerintah Hindia Belanda mengabulkan tuntutan dan mencabut peraturan itu.

Membidani Lahirnya Palang Merah Indonesia

“…de Inlander weet niet wat menschelijk is…” (orang pribumi itu tidak mengerti apa yang dimaksud dengan perikemanusiaan)

Ocehan seorang istri pejabat kolonial di atas begitu membekas di benak Bahder Djohan saat bersama R.C.L Senduk mengajukan proposal pendirian palang merah bumiputra di hadapan peserta Kongres Palang Merah Hindia Belanda pada 1940. Bahder Djohan sungguh tidak terima jawaban hinaan tersebut. Apalagi Ia memiliki pengalaman tidak mengenakkan dengan orang Belanda sewaktu mengalami kecelakaan mobil bersama kawan-kawannya di Tegal, Jawa Tengah. Mobil yang ditumpangi Bahder Djohan rusak berat akibat menabrak pohon dan beberapa kawannya mengalami luka-luka. Kemudian Bahder Djohan yang hanya mengalami luka ringan berinisiatif menghentikan mobil yang melintas seraya memohon pertolongan.

Melihat sebuah mobil yang ditumpangi dua orang Belanda mendekat, Bahder Djohan bisa bernafas lega. Ia lalu mencegat dan mengutarakan maksudnya kepada orang Belanda tersebut. Sedihnya, Bahder Djohan yang sedang betul-betul memerlukan pertolongan, permohonannya lekas ditolak. Mobil tersebut melesat pergi tanpa belas kasih sedikit pun. Pengalaman buruk itu juga dijelaskan oleh Bahder Djohan kepada para peserta kongres Palang Merah Hindia Belanda sekaligus bantahan terhadap anggapan bahwasanya bumiputra tidak mengerti persoalan kemanusiaan.

“Tetapi ternyata permintaan kami oleh orang Belanda itu ditolak dan dengan cepat ia meninggalkan kami. Dengan demikian, para hadirin, ternyata di pihak Belanda pun ada juga oknum-oknum yang tidak tahu perikemanusiaan”

Kendati hasratnya mendirikan Palang Merah tidak dikabulkan, Bahder Djohan tidak patah arang. Pada masa pendudukan Jepang mencoba mengajukan kembali. Namun, hal itu juga ditolak. Barulah, selepas kemerdekaan Indonesia, Presiden Soekarno meminta Menteri Kesehatan Boentaran Martoatmodjo agar membentuk sebuah panitia pendirian palang merah pada 5 September 1945. R. Mochtar sebagai ketua dan Bahder Djohan ditunjuk sebagai sekretaris. Dalam kurun waktu 12 hari, panitia berhasil menyusun pendirian dan pengurus Palang Merah Indonesia (PMI). PMI resmi berdiri pada 17 September 1945. Bung Hatta selaku Wakil Presiden Republik Indonesia dilantik sebagai Ketua dan didampingi oleh Bahder Djohan sebagai Sekretaris.

Prosesi serah terima Palang Merah Belanda (NERKAI) kepada Palang Merah Indonesia (PMI) pada 16 Januari 1950. Dr. Bahder Djohan (tengah) sedang membubuhkan tanda tangan dokumen serah terima tersebut.

Di sisi lain, ketika revolusi fisik bergulir, Belanda yang hendak menjajah Indonesia kembali, mendirikan Nederland Rode Kruis Afdeling Indische (NERKAI). NERKAI merupakan organisasi Palang Merah pada masa Hindia Belanda yang telah dibubarkan pemerintah pendudukan Jepang. Ketika pengakuan kedaulatan diraih Indonesia pada momentum Konferensi Meja Bundar (KMB), NERKAI juga melakukan serah terima pengakuan dengan PMI yang digelar pada 16 Januari 1950.(Eko Septian Saputra/Kurator)

Referensi

Darmansjah. 2010. Jong Sumatranen Bond: Perjuangan dalam Membangun Persatuan. Jakarta: Museum Sumpah Pemuda

Djohan, Bahder. Pengabdi Kemanusiaan. 1980. Jakarta: Gunung Agung

Miert, Hans van. 1995. Dengan Semangat Berkobar: Nasionalisme dan Gerakan Pemuda 1918-1930. Jakarta: Pustaka Utan Kayu

Pols, Hans. 2019. Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan  Para Dokter Indonesia. Jakarta: Kompas

Safwan, Mardanas. 1985. Prof. Dr. Bahder Djohan: Karya dan Pengabdiannya. Jakarta: Depdikbud.

Share:

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Jl. Kramat Raya 106, Jakarta Pusat 10420.
(021) 3103217, 3154546
museumsumpahpemuda@kemdikbud.go.id
Chat Sekarang
Perlu bantuan?
Hallo... Ada yang bisa kami bantu?